Friday, October 20, 2017

Renungan Pagi Ini: Branding Diri

Tiga hari yang lalu, saya bertemu dengan dua orang mahasiswa baru, satu dari Bangladesh, dan satu dari Jepang. Mungkin karena saya terliat sedang facebookan mengetik sesuatu, jadi anak Bangladesh itu mendatangi anak Jepang dan bertanya tentang sesuatu dari handphonenya. Rupanya, anak Jepang itu tidak ngerti bahasa Inggris, dan dia tidak berbicara sepatah katapun melainkan hanya menggunakan gerakan tangan mengisyaratkan "I don't know what the hell you've said", namun anak bangladesh itu tetap insist bertanya.


Karena saya terusik dengan pemandangan seperti itu tepat di depan saya, akhirnya saya lepas headset saya dan saya bertanya: "Dou shitandesuka?" (Apa ada yang bisa dibantu?). Kemudian junior Jepang menjelaskan bahwa dia tidak bisa bahasa Inggris sehingga tidak tau apa yang dimaksud, kemudian saya bertanya kepada anak Bangladesh, "Is there anything that I can help?". Kemudian anak Bangladesh memberi tahu soal email pemberitahuan yang dalam bahasa Jepang, mengenai acara welcome party yang tertulis diadakan pada malam itu. Lantas, saya bertanya kepada anak Jepang tentang hal tersebut dalam bahasa Jepang, dan dia menjelaskannya, kemudian saya sampaikan ke anak Bangladesh dengan bahasa Inggris. 

Selesai percakapan, saya kembali ke kerjaan saya facebookan menulis. Lantas, telepon berdering, rupanya dari teman saya, kemudian saya bercakap dengan bahasa Indonesia. Selesai menelepon, mereka berdua memandang ke arah saya bersamaan. Kemudian anak Bangladesh bertanya: "Where are you from?", saya jawab saya dari Indonesia. Dan kemudian muncullah pujian2 dari keduanya bla bla bla. Saya hanya nyengir. Lalu saya katakan, "I don't speak both japanese and english properly, tho. Watashi no eigo to nihongo no bunpou ga mecha kucha desu yo!", tapi mereka masih tetap dengan kata wonderful dan subarashii nya. Lalu saya tutup dengan kalimat, "I've been living here for 6 years, so I can communicate. Watashi ha, mou 6 nen kan gifu ni sundeiru kara. " untuk membuat mereka berhenti memuji secara berlebihan.

Keesokan harinya, saya bertemu dengan teman dekat saya, orang Jepang, lalu saya ceritakan tentang cerita tersebut. Dia berkomentar, "Kimi no nihongo ha mada mada dayo ne" (bahasa jepangmu masih belum bagus padahal), lalu kita tertawa. Kejadian ini membuat saya sadar bahwa rupanya, kita dianggap hebat hanya oleh orang-orang yang tidak bisa atau tidak punya kemampuan itu. Hal ini mengingatkan saya pada saat pertama kali menjajakkan kaki di Jepang. Saya dengan begitu takjubnya melihat kakak kelas yang pandai sekali bercakap dengan bahasa Jepang, padahal sebenarnya, yang dia rasakan adalah sama dengan yang kurasakan saat ini. Karena pada saat itu, saya nggak ngerti apa-apa tentang bahasa jepang sama sekali.

Lantas malam itu, pikiran saya tertuju kepada pembicaraans aya dengan dua sahabat saya, Dilla dan Dida. Tentang seseorang yang selalu menuliskan prestasi-prestasinya sekecil apapun di media sosial. meskipun hanya prestasi receh, yang orang lain bisa melakukannya. Contohnya, saya bisa menuliskan cerita saya diatas tadi dengan kata-kata seperti ini:

Baru saja saya menjadi penerjemah antara teman Bangladesh dengan teman Jepang. Betapa bersyukurnya saya diberi kemampuan untuk bisa berbahasa asing sehingga bisa membantu teman ketika ada kendala berbahasa. 
Saya sebut itu sebagai branding diri. Ketika kita menuliskan banyak sekali hal-hal yang sebenarnya kecil tetapi kita bisa membuatnya nampak wah dan hebat di mata orang lain. Bagi saya, hanya menjadi perantara percakapan, sebenarnya sudah sejak lama, bahkan kerja sambilan saya menjadi penerjemah pula. Hal itu adalah hal yang amat sangat biasa. Karena kita hidup disini, bukan hanya saya, tapi kita semua, mahasiswa asing di manapun berada, bercakap multi language adalah hal yang biasa saja. Orang Indonesia juga kan? Bahasa lokal dan bahasa Indonesia. Apa yang mesti dibanggakan?

Tapi, sekali lagi, itulah yang namanya Branding diri. Membuat diri kita menjadi sangat bernilai. Saya kemudian teringat dengan adek tingkat saya. Yang selalu membagi prestasi sekecil2nya kepada teman2nya, dengan alasan untuk memotivasi. Junior saya yang kebetulan kawan baik dia berkata jujur kepada saya, bahwa dimata dia, itu malah menjadi terkesan pamer, padahal kemampuannya ga seberapa. Lantas saya pun teringat sebuah berita dari situs kampus saya, bahwa hebat sekali, si anu lulus program master di UK hanya dalam waktu 1 tahun. Dan saya kemudain tersenyum kecil ketika semua orang berkomentar si anu hebat. Untuk informasi saja, bahwa di UK atau inggris, program master degree itu memang 1 tahun. Apa lulus 1 tahun untuk program 1 tahun itu dikatakan hebat? Ya...biasa saja bukan?

Sekali lagi, itulah yang dinamakan Branding. Menceritakna banyak sekali kelebihan diri kita kepada orang lain. Agar orang lain merasa terintimidasi termotivasi untuk menjadi seperti kita. Contohnya ketika saya berhasil membuka tutup saos ABC yang biasanya saya tidak bisa membukanya, maka saya akan menuliskan seperti ini:

Puji syukur, berkat latihan berkali-kali, hari ini saya berhasil membuka tutup botol saos ABC. Tutup botol ini amat sangat sulit untuk saya buka, sehingga saya butuh waktu lebih untuk melatih diri agar bisa membukaya. Alhamdulillah, ternyata Allah memberikanku rejeki yang luar biasa dan berhasil membukanya. Akhirnya saya bisa membagikan pengalaman saya membuka tutup botol saos ABC ini kepada adek-adek saya di sini.
nde? Monku aru?

No, no tidak ada masalah dengan orang-orang yang mem-branding dirinya seperti itu. Hidup ini adalah pilihan. Tinggal kita ingin dikenal orang sebagai apa dan siapa. Jika ingin nama kita dikenal banyak orang, maka jangan ragu untuk membuat branding diri. Jika kamu ingin hidup aman dan nyaman dengan pencapaianmu saat ini, ya tidak perlulah mem-branding diri. Tapi, biasanya, orang yang benar-benar hebat adalah orang yang mampu untuk tidak mengeluarkan sepatah kata pun tentang kehebatannya. Masih ingat kasus Dwi Hartanto, bukan? Orang yang benar-benar hebat biasanya tidak banyak dikenal khalayak ramai sampai benar-benar dia melakukan banyak sekali kehebatan yang dibuktikan dengan banyaknya bukti tertulis (paper atau piagam). Seperti Einstein. 

So, hiduplah damai, belajarlah dari alam, belajarlah rendah hati. Branding-lah dirimu sebagai orang yang bermanfaat, bukan sebagai orang yang haus pujian akan prestasi. Satu pelajaran dan renungan lagi bagi saya di siang yang berasa pagi ini. Semoga Tuhan senantiasa melembutkan hati kita. 
Renungan Pagi untuk Inspirasi


EmoticonEmoticon