Monday, October 9, 2017

Ilmuwan, Media dan Masalahnya : Belajar dari Nelson Tansu

Sedang hangat sekali kasus DH yang beredar luas di kalangan netizen Indonesia. pertama kali saya mendengar tentang DH adalah ketika media menggemborkan beliau sebagai Profesor dalam usia yang sangat muda (24 tahun). Flash back ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Jepang, ada berita mengenai Nelson Tansu yang digadang-gadang menjadi guru besar termuda di salah satu universitas terkemuka di Indonesia.

Sosok Nelson Tansu ini memang nyata, dan beliau memang bekerja di universitas tersebut. Menariknya adalah, ketika media Indonesia memberitakan beliau adalah merupakan seorang GURU BESAR (dalam hal ini merujuk kepada istilah Profesor, yang mana di Indonesia diartikan sebagai orang yang sudah malang melintang dan memberikan banyak sekali kontribusi, salah satunya paper atau artikel ilmiah, terhadap ilmunya tersebut), beritanya salah satunya bisa dibaca di sini, orang menjadi berfikiran yang sangat berlebihan. Entah tujuannya untuk memberikan inspirasi kepada anak bangsa, namun justru hal seperti itu, pada dasarnya melanggar kode etik baik jurnalism maupun scientist.

Pada saat saya telusur ke situs tempat beliau mengajar, rupanya tersebutlah biodata (CV) beliau secara lengkap. Menariknya adalah, bahwa memang, tersebutlah di dalam CV bahwa Dr. Nelson Tansu menempuh pendidikan dari Bachelor (S1) hingga PhD (S3) pada bulan Mei 1988 hingga bulan Mei 2003, yang mana jika dihitung secara umur, kelahiran beliau Oktober 1977, beliau berumur 25 tahun ketika beliau mendapatkan gelar PhD. Yang perlu diedukasikan kepada masyarakat awam Indonesia disini adalah, bahwa PhD (Doctor of Phillosophy) itu BUKAN Profesor. Tetapi, perjalanan karir kemahasiswaan beliau memang sungguh menginspirasi. Tak heran, karena pada situs universitasnya, beliau dijuliki "Nelson, the boy who loved to read". Bahkan istirnya pun menerbitkan buku bergambar dengan judul yang sama.


Berbedanya dengan DH, Prof. Nelson ini sungguh sangat humble, terbukti ketika Kick Andy membawanya ke layar kaca. Di sini, beliau dengan tegas mengatakan bahwa "lulus doktor" bukan sebagai profesor di umur 25. Hal ini menjadikan satu kesimpulan bahwa betapa longgarnya kualitas media Indonesia. Padahal, di CV beliau yang resmi pada situs universitas tersebut tertuliskan bahwa beliau menjadi Assistant Profesor pada tahun 2003 segera selepas beliau memperoleh gelar doctor-nya. Yang mana, pada masyarakat awam Indonesia, tidak pernah mengenal apa arti kata Assistant Profesor atau Associate Proffesor. Asal ada kata profesor, orang sudah mengagung-agungkan sebagai guru besar. Padahal jenjang karir di luar negeri tidak seperti itu. Assistant Profesor itu biasanya adalah "calon" Professor, sibuknya luar biasa karena mengejar paper untuk diterbitkan di Jurnal Internasional, biasanya ada ketentuan jumlah berapa paper yang diterbitkan. Kemudian, barulah akan menjadi Associate Professor. Disini barulah beliau bisa mengajar dan mempunyai anak didik (tahun ke 4 S1, anak s2 dan s3).  Tapi, pada media Indonesia, posisi baru Assistant Professor sudah dilebih-lebihkan menjadi seorang guru besar yang setingkat dengan Full Professor.

Maka, jika ada kasus DH seperti saat ini, siapa yang disalahkan?
tentu saja pertamanya adalah media. Sebelum tentunya DH itu sendiri, namun media justru punya andil paling besar dalam "kebohongan-kebohongan" yang berasal dari kurang pahamnya si jurnalis/penulis berita tersebut dalam mengartikan sesuatu. Jadi, benar kata Prof. Nelson Tansu, bahwa budayakan membaca. Membaca buku tentunya, bukan membaca portal berita abal-abal.

Satu quote cantik dari beliau adalah:
" Generasi muda harus mengerti bahwa kita sebenarnya mampu bersaing. Dan penting juga adalah kita harus memiliki rasa rendah hati. Rasa bahwa kita memang bisa (bersaing) tetapi juga sadar bahwa untuk mencapai hal tersebut kita harus mempunyai dedikasi tinggi dan kerja keras, dan harus menyadari bahwa kita bukan yang terbaik, dan masih banyak yang lebih baik dari kita "

Rasa rendah hati inilah yang saat ini mulai hilang dari orang-orang yang memercayai bahwa dirinya adalah berilmu. Maka dari itu, pilihan ada di tangan kita. Akankah kita menjadi ilmuwan yang humble, atau kita menjadi ilmuwan yang arogan, atau menjadi ilmuwan yang bermasalah dengan kode etik seperti DH.

Nelson Tansu dan Problemnya

Di tahun yang sama dengan diundangnya ke Kick Andy (2015), rupanya ada satu research menarik mengenai beliau. Yaitu mengenai self citation, dan self plagiarism dan kecurangan dalam penelitian. Bahkan ada satu akun yang mempresentasikan mengenai beliau di sini. Terlebih tentang klaim mengenai doktor termuda di dunia itu tidak benar. Lagi-lagi, hal ini dikarenakan ulah media Indonesia yang jurnalisnya atau penulisnya benar-benar minim pengetahuan. Mungkin, sebaiknya ditulis bahwa Nelson tansu adalah doktor termuda di Indonesia.

Disamping itu, mengenai paten dan publikasinya yang dipertanyakan, menjadi hal yang kemudian membawanya ke arah pelanggaran kode etik ilmuwan. Dalam hal ini, beliau melakukan self citation, atau menyitasi paper yang dia publikasikan sendiri secara berulang-ulang. Sitasi, bagi seorang peneliti, adalah penting karena dari sitasilah kita bisa tahu bahwa ilmu kita benar-benar bermanfaat bagi orang lain. Namun, ada cara curang untuk meningkatkan banyaknya jumlah sitasi di artikel kita, salah satunya adalah dengan memakainya di artikel kita yang selanjutnya, seperti yang dilaporkan bahwa Prof. Nelson Tansu ini melakukannya.

Berikut adalah sumber perbincangan hangat yang melibatkan beliau dalam kasus Self Citation.
 satu
 dua
 tiga, disini saya menyimpulkan bahwa kemungkinan ada yang tidak suka dengan progress beliau.
 empat tentang patent beliau

Namun, apakah benar beliau melakukan self citation, dan apakah self citation itu diperbolehkan dalam dunia keilmuwanan, saya sendiri kurang paham. Setidaknya, dari sini kita belajar, bahwa kerja keras un tuk menjadi seorang ilmuwan sungguh tidak mudah. Ilmuwan sebenarnya bukanlah tempat untuk memperkaya diri atau mendapatkan ketenaran, tetapi kamu bekerja dan berdedikasi untuk perkembangan ilmu di dunia. Dan jalan untuk menjadi seorang ilmuwan itu tidaklah instan. Jika ada yang mengatakan instan dengan rentang waktu yang lebih pendek, pastikan bahwa IQ nya melebihi IQ orang normal kebanyakan.


EmoticonEmoticon