Friday, July 3, 2015

Belajar Bersyukur dari Sebuah Pernikahan

Hari ini aslinya saya udah siap2 mau pulang. Komputer sudah saya matikan dan saya cuma menunggu batre hape saya terisi 50% sehingga saya cuma duduk2 sambil liat2 hape. Entah kenapa satu foto yang ditandai pada akun facebook teman saya membuat saya sedikit tertegun dan memutuskan untuk menyalakan kembali komputer saya, dan menulis ini. Yah, meski kemaren sempet bertekad nggak akan nulis lagi diluar masalah pelajaran dan research, tapi nggak tahan juga untuk curhat yang beginian hehe.

Syukur.
Bersyukur. Rasanya gampang sekali orang itu menyuruh dan mengucapkan. Apalagi menilai kita yang kadang dibilang kurang bersyukur. Syukur itu apa sih? Benarkah syukur itu benar2 tidak mengeluh? Lalu apakah ada orang yang benar2 penuh dengan syukur dan terhindar dari mengeluh? Ah, bukankah Rosulullah saw juga pernah mengeluh?

Bagi saya, syukur itu seperti ikhlas. Mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Mungkin gampang sekali kita mengucap syukur dikaruniai tubuh sehat, ketika melihat Dani Aditya, seorang stand up comedian yang mempunyai keterbatasan dalam berjalan. Namun, apakah hanya sekedar itu? Yang seperti itu, sudah biasa. Semua orang akan mudah bersyukur untuk hal tersebut. Namun, di dalam kehidupan, ada banyak hal yang sering kita lupa bahwa apa yang kita punya itu patut untuk disyukuri.

Pernahkah kita melihat sekitar kita, tetangga kita, atau mungkin saudara kita? Pernahkah kita melihat detail seperti apa kehidupannya?

Hal yang membuat saya tertegun hari ini adalah, saat saya melihat foto seorang mempelai wanita menggunakan baju pengantin didampingi oleh ayahandanya. Di bawah foto itu, ada mempelai wanita lain berpose mesra dengan suaminya. Namun ada yang membedakan dari kedua foto itu. (Untuk privasi, saya tidak akan mengunggah fotonya).

Di foto mempelai wanita dengan suaminya, tampak latar belakang dekorasi pernikahan yang lebih dari sekedar bagus. Pakaian yang serasi dan aksesoris yang napak mahal. Dengan fotografer yang saya pikir pasti profesional. Gaun pengantin mempelai wanita yang menjuntai ke bawah lengkap dengan payet2 dan warna yang keren. Bling-bling swarowski nampak bertabur di aksesoris kepalanya. Cantik sekali.

Di foto mempelai wanita dengan ayahnya, nampak begitu berbeda. Sang mempelai hanya menggunakan kain kebaya putih sederhana, dengan aksesoris yang saya pikir itu sewaan, dan riasan yang tipis, atau bahkan tanpa riasan sama sekali. Ayahnya hanya menggunakan baju batik yang nampak baru, namun dengan peci yang terlihat usang. Foto2nya pun hanya diambil dengan kamera hape sederhana. Sungguh sangat sederhana, namun ada senyum kebahagiaan terpancar pada keduanya. Sungguh, hati saya sakit dan tanpa sadar saya menitikkan air mata.

Kadang kita menginginkan resepsi pernikahan yang mewah, menarik, unik, dengan baju bagus, dekorasi cantik, makanan enak. Diantara kita mungkin juga ada yang mendambakan pernikahan ala Raffi Ahmad yang serba glamour. Kita memimpikan itu karena kita tahu bahwa kita mampu memenuhinya. Namun pernahkah kita melihat teman2 kita yang bahkan bermimpi seperti itu pun tak mampu? Seperti yang saya lihat di foto mempelai wanita dengan ayahnya. Mereka tidak peduli seperti apa warna tratak, semewah apa gaun pengantin, selezat apa makanannya. Yang mereka pedulikan hanyalah "aku menikah".

http://quanado.com/portfolio/new-wedding-planet/how-to-be-a-wedding-planner.html
Saya bisa saja menciptakan resepsi pernikahan yang mewah. Toh pacar saya duitnya juga banyak. Saya bisa saja mengundang Vidi Aldiano untuk menjadi mempelai pria pengisi acara di hari pernikahan saya. Tapi, apakah itu esensi sebuah pernikahan?

Tuhan, rasanya sakit sekali. Sering aku lupa bahwa hidupku jauh lebih mudah dari orang2 seperti mempelai wanita dengan ayahnya itu. Sering aku lupa bahwa aku lebih beruntung dari mereka. Kalau aku menikah, pastinya aku bisa mengadakan acara yang lebih dari itu. Tapi aku sering lupa, hidupku lebih enak dari mereka. Hidupku lebih banyak kesempatan untuk menikmati luasnya dunia, enaknya makanan, dan indahnya pemandangan.

Kadang2 kita selalu memandang jauh ke atas awan. Menikmati indahnya langit biru. Namun, saking seringnya kita mendongak ke atas, kita jadi lupa bagaimana caranya menunduk, melihat betapa kotornya tanah dibawah. dan kita tidak sadar bahwa kita berdiri di atas sepatu cantik yang mencegah kaki kita kotor karena tanah.



EmoticonEmoticon