Monday, March 30, 2015

Dwitasari: Plagiarism, Copy Paste dan Nyontek

Dari penasaran dengan Rembulan Love nya si Dijah Yellow, semalam saya searching review-nya. Kemudian di salah satu blog, yang embuh banget saya koq ya lupa baca dimana, yang jelas dari situ saya dapat satu nama, Dwitasari. Kata bloggernya yang masih saya ga terlalu inget, tapi intinya seperti ini "...paling tidak Dijah Yellow jujur dengan karyanya yang sampah, daripada karya bagus puitis tapi hasil plagiat, siapa lagi kalau bukan dwitasyaar'i".

Karena menyingung plagiat2, saya jadi penasaran, kemudian saya ketik itu dwitasyaar'i, ternyata ga ada. Saya tambah dengan kata plagiat, muncullah nama Dwitasari. Ternyata dia adalah penulis novel yang difilm-kan, Cinta Tapi Beda. Terus saya kepo nih, beritanya, caption2 twit nya, twitter nya juga. Sampai menghabiskan waktu habis subuh saya yang biasa saya gunakan untuk tidur, untuk kepo soal dia. Well, dia itu penulis yang berangkat dari selebtwit, anak sastra UI, novelnya banyak. Itu aja sih.

Yang jadi menarik buat saya adalah, soal complain dari beberapa (atau banyak) orang tentang copas-an twit2nya yang tanpa mencantum nama si pengarang aslinya. Kemudian ada yg jadi masalah saat salah satu pengarang puisi yangdijiplak oleh Dwitasari ini malah dituduh sebagai plagiat dari karya yang sebenarnya adalah miliknya. Ngenes ya.

Kebetulan saya suka nulis fiksi sejak SD. Tapi level saya sebatas iseng dan ngerjain tugas bahasa Indonesia. Tidak pernah saya publikasikan. Dan sekarang saya cuma coba2 nulis fiksi, bikin cerita sampah (sekali tulis, tanpa diedit sama sekali) seperti Cinta Kita Terhalang Syahadat, I Fall in The Autumn, Love (yang mau aku ganti jadi Ada Apa Dengan Cinta Yang Lain), dan beberapa yang tentu saja belum selesai, dan juga sedang berusaha nyusun buku dari pengalaman yang kira2 nanti mau saya kasih judul Ngenes Elegan. Disamping itu, saya juga sedang berusaha untuk menerbitkan paper penelitian saya di jurnal internasional (ini adalah alasan utama kenapa saya tidak bisa menyelesaikan bahkan mengedit rencana novel2 saya). Hehe aslinya saya mah apa atuh, kalah sama dijah yellow.

Semester lalu, saya mendapat pelajaran tentang Plagiarism. Untuk yang belum tau apa itu plagiarism, ini ada pengertian plagiarism dari Wikipedia.

Plagiarisme atau plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri.Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku plagiat disebut sebagai plagiator.

Di dunia pendidikan, apalagi kalau sudah berurusan dengan Paper, memang plagiarisme menjadi sebuah momok tersendiri. Bagaimana tidak, karena sebuah ide dan pemikiran setiap orang itu sangat berharga. Ambil contoh gini, kamu punya data, sudah dianalisis dan hasilnya adalah pemberian dosis pupuk pada tanaman 1 membuat produksinya lebih unggul dari tanaman 2 diakibatkan karena umur tanaman. Maka, secara gamblang kamu akan menulis di kesimpulan : umur tanaman berpengaruh terhadap pemberian dosis pupuk optimal pada tanaman.

Tapi, apa kamu yakin bahwa hanya kamu saja yang berfikir demikian? No. Tidak.

Di dunia sana banyak yg mungkin berfikir sama, dan mungkin menulis dengan kata2 yang sama pula. Misalkan kita mengirim paper kita ke jurnal, dan kemudian kita mendapat plagiarism alert dari editornya, padahal kita yakin bahwa itu kita yang nulis. Cuma, rupanya ada peneliti lain yang terlebih dahulu menerbitkan, tanpa kita tahu bahwa ternyata ada hal yang serupa.

Kasus seperti ini lazim dirasakan oleh para penulis paper. Dan saya sendiri merasakan benar, betapa susahnya menuangkan ide menjadi sebuah kalimat yang benar2 mencirikan saya. Kadang, satu kalimat harus dibelokkan dulu pengantarnya, jaga2 supaya tidak mendapat plagiarism alert.

Tapi, Dwitasari ini rupanya lain. Mirip sih, atau mungkin, dia tahu pola plagiarism ini. Apalagi dia anak sastra. Sejauh yang saya baca, dia menyontek, copy paste atau apapun istilahnya, twit atau puisi orang lain kemudian diedit sedikit. Sedikit saja editnya. Tapi masalahnya, dia bebel banget dan kekeuh kalo itu karyanya. Sampai kasihan banget pengarang aslinya harus memohon2 untuk menghapus karangannya pada naskah Dwitasari. Unggah ungguh yang buruk.
Sumber: www.cameron.k12.wi.us
Gambar diatas menunjukkan panduan kita dalam menuis karya. Terlebih jika itu adalah karya orag lain. Dalam tulis menulis, kita sebut mengutip (quoting). Quote atau kutipan adalah yang paling umum dilakukan baik penulis fiksi maupun non fiksi, caranya adalah ditulis lengkap setitik koma tanda bacanya. Misalnya, kita sedang menyukai kata2 bijak pada novelnya Raditya Dika, maka kita akan menulis seperti ini,

Cinta itu seperti marmut lucu warna merah jambu,yang berlari pada sebuah roda, dia pikir dia udah berlari jauh, padahal dia masih di tempat itu.
---- Raditya Dika, Marmut Merah Jambu
Itu Quote

Kemudian parafrase atau pharaphrasing, ini  biasa dipakai pada penulis paper ilmiah. Saya kurang tahu kalau di sastra, karena saya anak science bukan sastra hehe. Tapi di science, cara kita mem-parafase adalah dengan mengubah kalimat, tanpa mengurangi maknanya. Ini adalah tahap tersusah.Saya aja nangis beneran kalau pas harus mem-parafrase, saking nggak ada ide. Saya itu karena masih awam dan belum berpengalaman, untuk mengubah 1 kalimat kutipan aja saya membutuhkan waktu lebih dari 2 jam mikirnya. Itu beneran.

Saya nggak mau ngasih contoh untuk ini, karena males mikir hehe. Tapi ya...kalau masih penasaran, bisa googling aja sih (betapa jahatnya saya).

Tapi, bukan berarti setelah mengubah kalimat kamu lolos begitu saja. No. Unggah ungguh masih harus tetap dipakai. Kamu harus mencantumkan referensinya. Misalkan saja, contohnya, saya ambil dari draft paper saya,

The basic principal of using Fallout Radio Nuclear (FRN) as a fingerprint tracer is by comparing the FRN inventory in the eroded area and non-eroded area, so does the Cs137 method (Zapata, 2010)----------- in the draft of review paper by Diana Hapsari 
Itu sebenarnya kalimatnya nggak gitu, tapi, saya harus mengubahnya dengan gaya menulis saya sendiri, untuk menghindari plagiarisme.

Yang ketima summary atau menyimpulkan. Ini ada beberapa macam. Yang pertama, menyimpulkan satu paragraf menjadi satu kalimat saja, tetapi masih dalam satu paper. Yang kedua, menyimpulkan kalimat2 yang mirip dari banyak sekali paper, menjadi satu kalimat dengan bahasa sendiri. Sama seperti yang lainnya, tentu saja sumbernya harus dicantumkan. Misalnya seperti ini,

Basically, soil erosion is a natural process when the soil is moved and eroded. In the last decade, human activities and climate change accelerate the soil erosion process by water and they both lead to a serious environmental problem (Angima et al., 2003; Lu et al., 2004; Bonilla et al., 2010; Wakiyama et al., 2010; Xu et al., 2015; Nosrati et al., 2015). ------------ in the draft of review paper by Diana Hapsari

Dengan kita mencantumkan sumbernya, maka secara otomatis kita bebas dari cap plagiat. Kalaupun kelupaan, ya kita jujur saja, oh iya itu mengutip dari si A, cuma saya lupa. Ga usah malu untuk mengakui sebuah kutipan yang memang bukan karya asli kita.

Dwitasari, sebagai anak sastra, seharusnya tahu akan hal itu. Oh tidak, dia tahu, sangat tahu. Sehingga dia punya banyak trik untuk ngeles. Seperti nyontek waktu ujian. Kita nyontek teman, tapi ga mungkin kan kita akan benar2 nyontek sama seperti itu. Bisa2 dosen/guru tau dan nilai kita jeblok. Mankanya, walaupun kita nyntek, tapi kita mengubah kalimatnya, kan? Seperti itulah yang saya lihat dari kasus Dwitasari. Tapi ya, Tuhan itu Maha Adil koq. Mengutip salah seorang yang ikut protes (ampuuun deh saya lupa namanya siapa), pokoknya gini : isi otak itu tidak akan pernah tertukar. Iya, itu benar. Tapi, pencurian ide itu banyak terjadi. Sampai sekarang, kita belum tahu bagaimana cara mengatasi pencurian ide. Karena ide adalah sesuatu yang kasat mata, seperti hantu. Datang tak di jemput, hilang tak diusir. Dan orang2 seperti Dwitasari ini, seharusnya tidak kita sokong (atau idolakan). Bukankah masih banyak penulis lain yang berusaha sampai jungkir balik? Itu yang seharusnya kita apresiasi.

By the way, katanya Dwitasari juga sejarahnya pernah memakai foto dan identitas orang lain, sampai2 si empunya foto bikin tulisan klarifikasi. Tuhan.......inilah salah satu alasan mengapa saya dari dulu getol banget membuat setting-an akun sosial media saya private atau hanya teman saja yang mengetahuinya. Hanya Twitter yang saya buat publik. Karena orang2 seperti ini. Pencurian identitas. Berbahaya sekali. Mungkin setelah ini, saya bakalan mem-private twitter saya hehehe.

Jadi intinya, plagiarisme itu bukan hanya pencurian kata, kalimat, cerita. Tapi juga tentang pencurian ide dan kreativitas. Plagiarisme juga bisa terjadi dalam kasus pencurian identitas. Berhati2 lah dalam memposting karyamu. Saya pikir, kembali ke jaman dulu, seperti nulis diary, itu bagus juga. Kalau kamu suka berkarya, saya rasa, simpan aja dalam memori komputermu, terus kumpulin, dan terbitin langsung. Baru deh kamu promosikan ke sosmed. (NOTE TO MYSELF).

Akhir kata, biasakan untuk menulis, sehingga kamu akan mempunyai gaya tulisan sendiri. Itu adalah salah satu cara untuk menghilangkan kebiasaan plagiat, copy paste dan nyontek.


EmoticonEmoticon